Para petani di Asia Tenggara kerap terancam kelaparan,
padahal mereka rutin bercocok aneka tanaman pangan lo.
Situasi ini muncul karena mereka berada di bawah tekanan
untuk memenuhi target ekspor dan pada akhirnya mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan pribadi secara mandiri.
Fakta ini dikemukakan dalam diskusi bidang agrikultur pada ASEAN Civil Society Conference/ Asean People’s Forum (ACSC/APF), 4 Mei 2011, di Jakarta.
Forum itu diikuti perwakilan masyarakat dan kalangan pegiat dari anggota Perhimpunan Negara Asia Tenggara (ASEAN).
“Tekanan terbesar para petani adalah mereka bercocoktanam untuk ekspor.
Sementara mereka sendiri tidak punya ketahanan pangan dan akhirnya seringkali harus membeli dari pasar,
” kata Arze Glipo, pegiat dari lembaga Asia-Pacific Network on Food Sovereignity, dalam pernyataan untuk publik.
Ketahanan pangan para petani makin buruk terutama karena mereka sendiri juga tedesak krisis lahan yang kini terjadi di Asia
Tenggara.
Peningkatan jumlah penduduk dan ekspansi perusahaan kerap membuat para petani kehilangan lahan dan terpaksa bekerja sebagai buruh kontrak.
Di Indonesia saja, menurut hasil diskusi itu, investor asing tercatat menguasai 1,3 juta lahan pertanian, yang kerap berasal dari lahan hutan. Para investor ini, menurut Indonesian Peasant Alliance (API), umumnya menggeser industri perumahan dengan industri pangan raksasa mereka.
Sementara di Filipina, konglomerasi pangan yang berafiliasi dengan investor Malaysia menanamkan dana US $ 1 miliar untuk mengembangkan 1 juta hektar tanah pertanian padi dan jagung. World Food Programme juga memperkirakan 37 persen anak di Laos mengalami kekurangan gizi.
Ancaman lain bagi para petani di kawasan ini juga datang dari rencana para anggota negara ASEAN menerapkan sistem perdagangan bebas. Glipo menyatakan perdagangan bebas akan membuat semakin banyak petani menanam pangan untuk pasar ekspor dan juga semakin tergantung mendapatkan pangannya sendiri dari pasar. Jadi mereka juga pada saat yang sama sangat rentan dengan naik-turunnya harga pangan.
“Solusinya sebenarnya sederhana. Kita harus menegaskan regulasi bagi para investor di sektor lahan termasuk investor asing,” kata Glipo. Ini berarti ASEAN harus menerapkan reformasi kebijakan lahan dan lebih mengutamakannya para petani kecil untuk melindungi hak atas pangan bagi seluruh rakyat di Asia Tenggara
padahal mereka rutin bercocok aneka tanaman pangan lo.
Situasi ini muncul karena mereka berada di bawah tekanan
untuk memenuhi target ekspor dan pada akhirnya mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan pribadi secara mandiri.
Fakta ini dikemukakan dalam diskusi bidang agrikultur pada ASEAN Civil Society Conference/ Asean People’s Forum (ACSC/APF), 4 Mei 2011, di Jakarta.
Forum itu diikuti perwakilan masyarakat dan kalangan pegiat dari anggota Perhimpunan Negara Asia Tenggara (ASEAN).
“Tekanan terbesar para petani adalah mereka bercocoktanam untuk ekspor.
Sementara mereka sendiri tidak punya ketahanan pangan dan akhirnya seringkali harus membeli dari pasar,
” kata Arze Glipo, pegiat dari lembaga Asia-Pacific Network on Food Sovereignity, dalam pernyataan untuk publik.
Ketahanan pangan para petani makin buruk terutama karena mereka sendiri juga tedesak krisis lahan yang kini terjadi di Asia
Tenggara.
Peningkatan jumlah penduduk dan ekspansi perusahaan kerap membuat para petani kehilangan lahan dan terpaksa bekerja sebagai buruh kontrak.
Di Indonesia saja, menurut hasil diskusi itu, investor asing tercatat menguasai 1,3 juta lahan pertanian, yang kerap berasal dari lahan hutan. Para investor ini, menurut Indonesian Peasant Alliance (API), umumnya menggeser industri perumahan dengan industri pangan raksasa mereka.
Sementara di Filipina, konglomerasi pangan yang berafiliasi dengan investor Malaysia menanamkan dana US $ 1 miliar untuk mengembangkan 1 juta hektar tanah pertanian padi dan jagung. World Food Programme juga memperkirakan 37 persen anak di Laos mengalami kekurangan gizi.
Ancaman lain bagi para petani di kawasan ini juga datang dari rencana para anggota negara ASEAN menerapkan sistem perdagangan bebas. Glipo menyatakan perdagangan bebas akan membuat semakin banyak petani menanam pangan untuk pasar ekspor dan juga semakin tergantung mendapatkan pangannya sendiri dari pasar. Jadi mereka juga pada saat yang sama sangat rentan dengan naik-turunnya harga pangan.
“Solusinya sebenarnya sederhana. Kita harus menegaskan regulasi bagi para investor di sektor lahan termasuk investor asing,” kata Glipo. Ini berarti ASEAN harus menerapkan reformasi kebijakan lahan dan lebih mengutamakannya para petani kecil untuk melindungi hak atas pangan bagi seluruh rakyat di Asia Tenggara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar