UCAPKAN RASA TERIMAKASIH ANDA DENGAN MENKLIK SALAH SATU IKLAN DIBAWAH INI

Kamis, 09 Juni 2011

MATURASI BUKAN MASTRUBASI

Pernah dengar gak istilah maturasi?
klo mastrubasi aq yakin hampir semua remaja cowok yang normal pasti tau akan hal itu
tapi gimana dengan maturasi?
baiklah kita akan bahas maturasi itu apa
Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan dingin setelah ternak disembelih yang memberikan dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut (rib dan loin).

Selama maturasi akan terjadi pemecahan atau fragmentasi protein miofiblier oleh enzim-enzim alami menghasilkan perbaikan keempukan daging khususnya pada bagian rib dan loin. Pada suhu 2oC, waktu yangdibutuhkan untuk pematangan daging adalah 10-15 hari, namun dengan alasan ekonomi waktu diturunkan menjadi 7-8 hari. Akibat permintaan penyediaan daging yang cepat dan berkembangnya pasar swalayan dan toko-toko daging yang dilengkapi dengan rantai pendingin maka waktu maturasi di tingkat RPH dipersingkat menjadi 1-2 hari; setelah rigor mortis terbentuk karkas (whole and retail cuts) sudah bisa didistribusikan ke pasar swalayan dan toko daging, dengan harapan proses aging akan berlangsung selama display produk daging tersebut (Abustam, 2008).
Faustman (1994) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk maturasi adalah 12 hari untuk daging sapi, 3-5 hari untuk daging babi, dan 1-2 hari untuk daging ayam.
Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna protein. Ada dua kelompok enzim yang berperan dalam proses pengempukan ini yaitu calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya calpain yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok cathepsin yang aktif bekerja pada saat miofibriler. Calpain dalam aktivitasnya akan dihambat oleh enzim calpastatin, sehingga efektivitasnya terhadap keempukan akan tergantung pada jumlah enzim inhibitor tersebut (Abustam, 2008).
Poses pengempukan dapat dipercepat dengan meninggikan temperatur penyimpanan. Penyimpanan dalam waktu dua hari pada temperatur 20oC dapat memberikan derajat keempukan yang sama dengan penyimpanan 14 hari pada temperatur 0oC (Tabrany, 2001).
Selanjutnya Tabrany (2001) menambahkan bahwa pelayuan terjadi akibat proses kontraksi dan relaksasi pada otot sesaat setelah ternak dipotong yang menyebabkan perubahan biokimia dalam jaringan. Proses kontraksi menyebabkan otot menjadi keras dan kaku sedangkan proses relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Keempukan daging dapat terjadi karena ternak menyimpan glikogen di dalam otot sebagai sumber persediaan energi, untuk itu mengistirahatkan ternak selama 24 jam dapat meningkatkan jumlah glikogen yng pada akhirnya akan menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk.
Menurut Abustam (2008) bahwa ada 2 jenis aging pada karkas/daging yaitu :
1)      Dry aging, yaitu karkas utuh atau potongan utama karkas secara terbuka (tanpa ditutupi atau dikemas) ditempatkan pada ruangan pendingin pada suhu 0-1,11oC (32-34oF), kelembaban relatif 80-85%, kecepatan udara 0,5-2,5 m/det selama 21-28 hari.
2)      Wet aging, yaitu daging dimaturasikan pada kantong plastik hampa udara, suhu 0-1,11oC (32-34oC) kelembaban udara dan kecepatan udara bukan merupakan keharusan yang diperlukan pada maturasi tertutup.
Faktor pembatas aging adalah sebagai berikut :
a)      Kelembaban, kelembaban yang tinggi akan mengakibatkan pertumbuhan      mikroba yang berlebihan. Pada kelembaban yang rendah mengakibatkan pengkerutan yang berlebihan. Kelembaban relatif 85% memperlambat pertumbuhan mikroba dan kehilangan cairan daging akan menurun.
b)      Suhu, pada suhu yang tinggi akan mempercepat perkembangan keempukan namun pertumbuhan mikroba juga meningkat.
c)      Kecepatan udara, pada kecepatan udara rendah akan mengakibatkan kondensasi air berlebihan pada produk yang mana akan menghasilkan aroma dan flavour yang menyimpang (off-flavour) dan pembusukan. Sedang pada kecepatan udara tinggi akan mengakibatkan pengeringan permukaan karkas yang berlebihan.
Hubungan Waktu Aging dengan Tingkat Keempukan Daging
Pelayuan sangat dianjurkan agar proses rigor mortis berlangsung dengan sempurna. Proses pelayuan biasanya dilakukan di Rumah Potong hewan (RPH) dengan cara penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu pada temperatur tertentu diatas titik beku karkas atau daging (-1,5oC). Pelayuan yang lebih lama dari 24 jam atau sejak terjadinya kekakuan daging atau rigor mortis dapat disebut pematangan. Pelayuan biasanya dilakukan pada temperatur 32 - 38oF (0 - 3oC), setelah pendinginan selama kira-kira 24 jam pada temperatur -4oC sampai 1oC atau disebut chilling. Pada temperatur tersebut aktifitas enzim terhambat dan proses pengempukan daging berlangsung antara sepuluh sampai empat puluh hari. Rasa daging yang khas dapat terbentuk setelah satu minggu pelayuan, namun demikian daging yang berkualitas rendah jarang mencapai keempukan yang baik pada proses pelayuan (Tabrany, 2001).
Proses pengempukan dapat dipercepat dengan meninggikan temperatur penyimpanan. Penyimpanan dalam waktu dua hari pada temperatur 20oC dapat memberikan derajat keempukan yang sama dengan penyimpanan 14 hari pada temperatur 0oC. Karkas sapi memerlukan pelayuan. Karkas domba atau kambing bisa tidak dilayukan, karena dagingnya secara relaif sudah empuk bila ternak dipotong pada umur yang relatif muda dan proses kekakuan berlangsung dalam waktu yang relatif cepat. Demikian pula karkas unggas, tidak memerlukan pelayuan seperti karkas ternak ruminansia besar. Karkas babi karena lapisan lemaknya tidak stabil yaitu mudah mengalami proses ransiditas oksidatif maka pelayuan yang lama (misalnya lebih dari 24 jam) tidak akan memberikan hasil yang menguntungkan (Tabrany, 2001).
Pelayuan terjadi akibat proses kontraksi dan relaksasi pada otot sesaat setelah ternak dipotong yang menyebabkan perubahan biokimia dalam jaringan seperti diperlihatkan pada skema berikut :Skema perubahan - perubahan jaringan otot daging ternak potong (Tabrany, 2001).
 Proses kontraksi menyebabkan otot menjadi keras dan kaku sedangkan proses relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase-fase yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase pre rigor mortis, rigor mortis, dan pasca rigor mortis. Pada fase pre rigor mortis daging masih lunak karena daya ikat air dari jaringan otot masih tinggi, lama fase pre rigor mortis berkisar antara 5-8 jam, tergantung dari jenis hewan. Penemuan baru menunjukkan bahwa ada penyusutan otot pada fase pre rigor mortis, oleh karena itu bertambah kerasnya otot dapat dikurangi dengan menyimpan daging pada temperatur 20oC pada fase pre rigor mortis. Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku. Fase ini sangat tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama. Sedangkan fase pasca rigor mortis adalah fase pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi lunak dan empuk karena daya ikat air dalam otot kembali meningkat.Lama pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigor mortis (proses kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigor mortis belum selesai dan daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging mengalami proses cold-shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor (kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan menghasilkan daging yang tidak empuk (alot) (Tabrany, 2001).
Keempukan daging dapat terjadi karena ternak menyimpan glikogen di dalam otot sebagai sumber persediaan energi, untuk itu mengistirahatkan ternak yang akan dipotong selama 24 jam dapat meningkatkan jumlah glikogen yang pada akhirnya akan menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Pendapat lain menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi keempukan daging adalah faktor sebelum pemotongan (ante mortem) dan sesudah pemotongan (post mortem). Yang termasuk ante mortem adalah latar belakang genetik, cara-cara pemotongan, lama penyimpanan, temperatur penyimpanan dan penembahan zat pelunak, selain faktor-faktor tersebut jumlah lemak yang terdapat diantara jaringan pengikat otot ikut berpengaruh terhadap keempukan daging (Tabrany, 2001).
Daging akan berubah menjadi empuk apabila dilayukan hal ini karena selama proses pelayuan terjadi perubahan-perubahan pada protein intra dan ekstra seluler sehingga proses autolisis pada daging menghasilkan daging yg lebih empuk, lebih basah dan flavour lebih baik.
 Fungsi pengempukan daging dengan pelayuan merupakan fungsi dari waktu dan temperatur. Pada temperatur yang tinggi akan menghasilkan tingkat keempukan tertentu dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan pada temperatur rendah. Keempukan juga dapat ditingkatkan dengan perlakuan pendinginan , perlakuan enzim dan perebusan (Tabrany, 2001).
Setelah ternak mati dan daging mengalami rigor mortis, ikatan struktur miofibril dilonggarkan oleh enzim proteolitik, rusaknya komponen protein dari miofibril dapat meningkatkan keempukan daging. Denaturasi protein pada pelayuan terjadi karena pH yang rendah, temperatur diatas 25oC atau dibawah 0oC, adanya desikasi. Pada pelayuan protein miofibril dan sarkoplasma mengalami denaturasi sedangkan kolagen dan elastin tidak terdenaturasi. Denaturasi protein akan menyebabkan daya ikat air daging turun sehingga daging akan mengalami kehilangan cairan daging atau weep. Titik minimum daya ikat air pada pH 5,4-5,5. Pelayuan dapat menurunkan daya putus WB (Warner Blatzler), sehingga dapat meningkatkan keempukan daging, nilai daya putus WB merupakan indeks tingkat kealotan miofibrilar dari daging (Tabrany, 2001).






Tidak ada komentar:

Posting Komentar